Wednesday, October 19, 2011

Setahun yang Lalu


Setahun yang lalu di sehari sebelumnya, ketika detak waktu masih tertahan di 19.00, jemari-jemariku masih menari di kanvas kertas. Aku masih bercengkerama dengan sebilah pensil, sehelai kertas serta sebentuk penghapus, demi terjaganya asap yang mengepul dari dapur sederhana. Langit masih meneteskan peluh riak gerimisnya , mungkin untuk menjaga riak gemuruh detak jantungku yang sedikit tak menentu. Dan dering nada dari hapeku pun menjerit perlahan serta memintaku untuk menghempas kesunyian malam diantara deru roda serta jejalanan Jogja. Sepertinya harinya hampir tiba, kata-kata istriku menyambut kepulanganku ke rumah.

Setahun yang lalu, persis seusai kumandang adzan Subuh mengalun merdu di kesenyapan pagi, roda dua sepeda motorku kembali menderu dan melaju melibas jejalanan pagi menuju ke sebuah klinik bersalin. Kali ini aku bersama istriku, untuk menandai sebuah hari dengan sekepal harapan yang kami genggam erat. Sejenak degup jantungku kembali mengalun tak berirama, manakala sang Bidan menganjurkanku untuk berpindah ke sebuah rumah sakit bersalin. “Air ketubannya sudah keruh”, begitu saja kalimat yang meluncur teratur dari mulut beliau. Dan pada akhirnya sebuah rumah sakit bersalin yang terletak di tengah kota sedikit ke timur, menyambut kedatangan kami.

Setahun yang lalu, aku menjadi saksi perjuangan istriku saat-saat menahan linu dan nyeri di perutnya. Takut, cemas dan harap-harap bahagia bercampur menjadi sebuah lukisan di gurat-gurat wajahnya. Aku tahu itu adalah sebuah perjuangan yang hebat. Dentang waktu pukul 4 sore mengiringi langkah kami berdua menuju sebuah ruang persalinan. Genggaman tangannya begitu erat. Degup jantungku masih tak berirama. Sejenak terasa degup jantungku berhenti manakala meluncur sebaris kalimat yang menyarankan untuk melahirkan secara cesar. Sepertinya buah hatiku tengah berusaha untuk menggeliat berusaha menghirup nafas di dunia barunya, namun keruhnya ketuban membuatnya hanya terjaga di pintu rahim dengan wajah yang menghadap ke gerbang garba-nya. Sepertinya dia begitu bersemangat untuk segera mengenalkan dirinya pada dunia barunya. Jemari dan logikaku segera bermain di atas helai kertas yang disodorkan sang perawat. Operasi Cesar. Aku tidak peduli dengan berapapun biaya yang akan aku pikul. Uang tidak akan sanggup menggantikan dua nyawa yang tengah berjihad untuk sebuah kehidupan baru. Kumandang adzan Magrib mengantarkan istriku masuk ke dalam ruang operasi. Dia tersenyum. Aku diam dan berdoa. Hanya itu yang bisa aku lakukan.

Setahun yang lalu, di penanggalan 19 Oktober pada pertaluan detak jam di 18.25, engkau lahir wahai anakku. Senyum kebahagiaan terlukis di wajahku, terlebih juga istriku. Sujud syukur kami pada Sang Pemilik Alam Raya, demi melihat engkau, buah hati. Lantunan adzan pun kudendangkan di telingamu anakku. Nduk, begitu ingin segeranya kamu melihat dunia ini hingga engkau bersusah payah berusaha membuka pintu kehidupanmu sendiri dengan menengadah.

Nduk, setahun kini sudah berlalu. 12 purnama telah engkau, ayahmu ini serta ibumu lalui bersama dengan bahagia. Tangis dan tawamu mewarnai setiap detak nadi kami berdua, orangtuamu. Ompol dan eek’mu adalah bentuk lain dari kebahagiaan kami berdua, nduk. Semburat aroma keringatmu membuatku tak ingin beranjak pergi dari sisimu. Membuat selalu rindu yang bersemayam di jiwa ini semakin mekar dan mewangi. Jejak langkah pendewasaanmu semakin engkau matangkan serta coba engkau tunjukkan kepada kami. Semakin aku berusaha untuk terus menjagamu. Tetap disisimu. Agar engkau tak lagi naik-naik ke meja kerja gambarku, nduk. Hahaha…

Nduk, engkau adalah energi kehidupan yang tidak pernah henti-hentinya mendukung dan menyokong semangat serta harapan hidup dan kebertahanan ayah dan ibumu dari gerusan jaman. Engkau adalah partikel penyeimbang yang mampu meredamkan segala bentuk piramida emosi yang terbentuk sesaat di antara pondasi semangat ayah dan bundamu, nduk.

Nduk, setahun sudah usiamu kini. Ayah akan terus berikan waktu sepuasnya untuk mengayakan dirimu dengan aksara berbudi serta penyusunan partikel ideologi, logika serta nalar religi di setiap eksplorasimu saat kini dan nanti. Ada masanya nanti bagimu kelak untuk lantang berteriak semangatkan cita-citamu. Akan ada waktu untukmu berkata dan berbicara tentang arti kehidupan yang kemudian engkau bagikan bersama kami, orangtuamu dalam piramida keluarga yang tengah dibangun. Menjadi manusia yang baik dengan meninggalkan hal, tingkah dan sikap yang kurang bahkan tidak baik, dan bergandeng beriringan bersama manusia-manusia lain di muka bumi ini.

Selamat Ulang Tahun yang Pertama, Nduk Hanandiya Lituhayu Kaniasih

“Sejuta untai doa dari kami ke hadirat Allah SWT agar putri kami senantiasa dipanjangkan usia, agar putri kami senantiasa hormat dan santun kepada orangtua dan keluarga, juga diberikan kasih sayang dan pintu rizki yang selalu terbuka, serta limpahan kecerdasan dan kepandaian padanya. Amin”

0 komentar:

Post a Comment

Bahwa kebebasan berbicara dan berkomen adalah hak setiap warga negara (yang diharapkan kewarasannya), maka diperbolehkan untuk membebaskan segala penulisan aksara dalam wujudan kritik, saran, opini dan segala umak umik yang merupakan ekspresi fakta. Silakan umak umik bebas!

Flag Translating

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Mereka adalah Sahabat