Rabu 30 Juni 2010, sore hari ketika flamboyan di ufuk senja temaram menunggu malam, aku masih duduk tenang berhadapan dengan monitor. Diam. Sebuah penanggalan untuk penyelesaian atas sebuah storyboard dari sebuah trailer film serial animasi masih aku endap sementara. Pewarnaan atas gores demi gores sket pun telah usai. Pekerjaan selanjutnya sekarang hanyalah memoleskan sedikit birama-birama hingga menjadikannya lebih apik, setelah sebelumnya diperadukan dalam frame-frame berkordinat berparalel. Usai saling bertransfer tugas dengan kawan lain, aku pun bergegas untuk memenuhi panggilan kewajiban untuk mengantar sang istri tercinta tuk kembali memeriksakan sang jabang ke bidan.
Usai bel berdentang 1 kali setelah dentang ke-enam sebelumnya telah lebih dulu dikumandangkan dan sebelum ketujuh dentangnya bergema berbarengan, kupacu sepeda motorku melibas deru kehidupan tengah kota yang hiruk ramai pekik sambutan pada para pelibur. Sudah seperti metropoliskah, ketika aroma kemacetan, raungan mesin-mesin tua muda serta denging klakson kendaraan menjadi kolaborasi yang unik? Masing-masing ingin menjadi yang pertama. Untuk apa? Aku tidak tahu, karena toh nantinya juga akan sama menghentikan laju mesin dan roda di perempatan lampu lalu lintas. Tidak ada yang akan memujinya sebagai pembalap. Tidak akan ada yang memberikannya piala. Lalu kami semua akan sama melaju seusai binar hijau lampu lalu lintas kota mempersilakan untuk melaju.
Dentang bel waktu ketujuh pada tujuh dentang yang bersamaan menjadi tanda atas tersentuhnya pelataran rumah akan kakiku. Aku telah tiba di rumah, sayang, dan ini bukan kabar burung yang santer dikicaukan saat aku masih di tanah rencong dahulu. Istriku telah berdandan yang elok dan cantik. Kusapa keningnya dengan bibirku. Semburat di bibirnya pun tersungging.
“Ayo sayang, kita berangkat”, ajakku.
“Iya mas”, jawabnya.
Kembali, sepeda motorku melaju menyingkap tabir malam yang telah mulai diperlihatkan oleh sang langit. Tapi tak lagi sendiri karena belahan atas dua kehidupanku ada bersamaku. Tak ada lagi dingin. Pun sepi. Aspal jejalanan bersuka menyambut sentuhan demi sentuhan roda-roda sepeda motorku yang melaju di atasnya. Kilau pendar dari binar lampu sepeda motor lain seolah ikut mengiring kebersamaanku menuju sekuncup rumah di sana.
Sebuah papan yang mempertunjukkan judul sebuah pekerjaan serta nama dari si empunya tampak menyala di salah satu sudut rumah. Rumah sang bidan, demikianlah tujuan aku dan istriku datang. Ketuk pintu dan tanpa antri, kami memasuki ruang periksa. Kata demi kata pun bergantian saling mengisi ruang sepi yang berisi instrumen-instrumen kebidanan itu. Mungkin keluhan, mungkin hanya sekedar curhatan atau mungkin hanya sekedar basa basi dimana rumah, ingin anak lelaki atau perempuan yang juga kadang dirangkai-untaikan dari mulut ke telinga. Hingga kemudian, sang perawat, yang aku pikir memang dia adalah tangan kanan sang bidan, meminta istriku untuk berbaring di ranjang periksa.
Tubuh istriku pun berbaring telentang. Langit-langit kamar periksa pun terpandang. Perut istriku lalu diperlihatkan oleh sang perawat dari singkapan kain renda biru baju istriku. 3 olesan gel di perut membuat dahiku berkerut. Apa ya? Sebuah instrumen diperlihatkan pada kami. Ada kabel yang menghubungkan instrumen di tangan kanan dengan instrumen kebidanan di tangan kiri. Instrumen di tangan kanan lalu disentuhkan pada perut yang diolesi gel sebelumnya. Kiri, biasa saja. Tengah, pun masih sama. Kanan? Aku terdiam, istriku pun demikian. Seperti suara kereta api yang tengah melewati rel. Atau malah seperti musik dugem? Ah aku tidak tahu, yang jelas aku dan istriku masih terdiam. Hingga sang perawat membuka mulutnya sambil tersenyum manis (walaupun lebih manis istriku).
“Ini denyut jantung anak Anda, Pak. Sehat sekali.” Kata sang perawat.
Pancaran mata bahagia bisa aku pandangi di kedua mata istriku. Mungkin apa yang dia lihat di mataku pun sama demikian. Pertama kalinya aku mendengar suara denyut jantung, pertama kali pula aku mendengar suara denyut jantung dari rahim istriku.
142 kali detak dari degup jantung dari nadi kehidupanmu anakku, benar-benar membuatku bangga bahwa engkau telah memilih kami untuk menjadi calon orangtua yang akan melahirkan, membesarkan, mendidikmu kelak, serta berharap engkau bisa menjadi salah satu dari pewaris bumi. Anakku, kami akan tunggu kehadiranmu untuk bersama-sama mengecap bumi serta menghirup wanginya nanti.
Kamis pagi pukul 02.00 WIB
0 komentar:
Post a Comment
Bahwa kebebasan berbicara dan berkomen adalah hak setiap warga negara (yang diharapkan kewarasannya), maka diperbolehkan untuk membebaskan segala penulisan aksara dalam wujudan kritik, saran, opini dan segala umak umik yang merupakan ekspresi fakta. Silakan umak umik bebas!