Thursday, November 04, 2010

Hanandiya Lituhayu Kaniasih


Hanandiya Lituhayu Kaniasih
19 Oktober 2010 ketika detak waktu bertalu di 18.25, sebuah box inkubator membawa sesosok tubuh mungil kemerahan terbalut kain. Sujud syukur pada Tuhan demi melihat si jabang, penerus generasi dari keluarga yang telah diberkahi untuk menghirup udara kehidupan dunia, dibawa keluar dari ruang operasi menuju ke ruang bayi. Serta merta kuhentikan sejenak laju kereta bayi, kemudian dengan keyakinan seyakin-yakinnya kubisikkan kumandang adzan serta iqomah di telinga si buyung. Lalu kereta pun melaju kembali. Dan sesaat setelahnya, keluarlah istriku dalam baringan. Kulihat raut kelegaan serta kegembiraan di wajahnya, seusai bergelut dalam jihad penentu takdir kehidupan.


Hari itu adalah hari Selasa Kliwon dalam sebuah penanggalan Jawa yang masih aku sanding sebagai adat kejawaan kami. Istriku teramat bahagia hingga tanpa sadar terisaklah tangisnya. Sebuah tangisan keharuan. Sebuah tangis kebahagiaan. Sebuah tangisan perubahan sebagai seorang ibu. Seorang ibu yang telah melahirkan jabang bayi yang telah dikandungnya selama 9 bulan. Gurat-gurat syukur yang terpancar memperlihatkan perasaan yang tiada tara. Demikian juga aku.

Bagi kami berdua, dia bagaikan sekuntum bunga harum yang tumbuh mekar serta mewangi diantara kami berdua selaku orangtuanya. Sosok perempuan yang cantik rupawan, kecantikan yang kami doa dan panjatkan bukan hanya sebagai kecantikan pembalut raga tapi juga kecantikan hati dalam berlaku, berkata, berdoa, beribadah menurut keyakinan yang diyakininya serta bagaimana menjadi sosok manusia yang berguna dan miyayeni untuk orangtua, agama dan bangsa. Sosok perempuan yang kami doakan selalu mendapatkan rezekinya yang halal dari manapun serta dimanapun dia berada. Sosok perempuan yang kami kasihi serta kami harap dan doakan juga dikasihi oleh Tuhan, orang-orang yang disekitarnya, oleh negara yang diwargainya, bangsa yang melahirkannya serta bumi langit yang dia pijak dan junjung. Sebuah nama pun terwujud, terlahir, terpahat dan terpanjat sebagai doa atasnya. Hanandiya Lituhayu Kaniasih.

Tuhan, dia adalah amanahMu, maka kami akan menjaganya dengan jiwa raga disela-sela guratan nafas serta degub nadi kehidupan kami sampai nyawa ini meregang untuk Engkau ambil kembali.

Tuhan, dia adalah anugerahMu, maka sepenuh hati, doa dan syukur selalu terpanjat untukMu.

Tuhan, dia adalah penerus generasi kami serta salah satu pewaris bumiMu, maka doa kami agar Engkau menjaganya agar tetap harum mewangikan nafas kehidupan dunia ini, menjaga kecantikannya agar tetap menjadi sosok rupawan lahir batin, menjaga jalan rezeki dan jodohnya serta menjaga kasihnya agar tetap terpancar dariMu juga dari umat-umatMu yang lain untuknya. Serta jauhkan dia dari segala bentuk keburukan dan kemudharatan yang akan menjauhkan dia dariMu.

Amin...


Hanandiya Lituhayu Kaniasih
, hai perempuan mungilku, nduk Hana, segenap pegiat arcapada dan pelaku keringat negeri di seluruh alam raya ini mengucapkan padamu, Selamat Datang ke Dunia...

Lalu sayup-sayup dendang lagu “Belaian Sayang” yang dinyanyikan alm.Bing Slamet pun terdengar mengalun...

Waktu hujan turun...Rintik perlahan
Bintang pun menepi...Awan menebar
Kutimang si buyung...Belaian sayang
Anakku seorang...Tidurlah tidur
Ibu menjaga...Ayah mendoa
Agar kau kelak...Jujur melangkah
Jangan engkau lupa...Tanah pusaka
Tanah tumpah darah...Indonesia

2 komentar:

Nyitnyit ngomeng

selamat ya nug..semoga dek hananya menjadi putri nan elok hati n' parasnya amin....

Anonymous ngomeng

Terharuuuuu

Post a Comment

Bahwa kebebasan berbicara dan berkomen adalah hak setiap warga negara (yang diharapkan kewarasannya), maka diperbolehkan untuk membebaskan segala penulisan aksara dalam wujudan kritik, saran, opini dan segala umak umik yang merupakan ekspresi fakta. Silakan umak umik bebas!

Flag Translating

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Mereka adalah Sahabat