Saturday, September 11, 2010

Minal Aidin Wal Faidzin

Euforia Ramadhan telah memasuki puncaknya. Puncak dari segala kemenangan yang diartikan dalam berbagai arti yang kemudian dimaknakan sendiri-sendiri. Mungkin kemenangan atas kemampuan pertahanan dari segala hawa nafsu. Mungkin kemenangan karena keberhasilan masing-masing menghempas himpitan kemacetan yang mewarnai aroma mudik. Mungkin juga kemenangan karena merasa tidak terlalu mengencani euforia itu sendiri. Apapun yang terjadi euforia Ramadhan telah sukses memuncak pada saat yang telah disemestikan oleh beberapa gelintir manusia yang mengatasnamakan dirinya pemerintah.

Sorak sorai masal membahana di sekujur penjuru bumi yang mencencang namanya di atas nisan republikan. Luapan kemenangan yang kemudian diwujudkan dengan mengangkut segala yang diinginkan untuk dilantarkan ke kampung yang pernah melahirkan mereka masing-masing. Melaju di atas 2 roda dimana diatasnya dijejalkan segala mimpi, oleh-oleh harapan dan celotehan ala metropolitan, menuju kampung damai yang belum terkikis kemajemukannya. Lalu bersua dengan sanak kerabat serta keluarga segaris tali pertalian darah. Kebiasaan yang biasa bagi penghuni rimba pencakar langit, tapi teramat luar biasa untuk para penunggu bumi kehidupan awal.

Untuk beberapa yang lain, Ramadhan menjadi salah satu alasan untuk menggunjingkan sesuatu yang disebut tunjangan, dalam bentuk apapun baik parcel maupun dalam bentuk lembaran duit. Meskipun itu tidak (selalu) berlaku untuk beberapa mahligai kreatif peramai seni. Tentu saja dengan alasan belum teregulasinya pesanan dari negeri orang, di balik alasan bahwa negeri sendiri belum juga memuliakannya. Dan manakala tunjangan itu diberikan, tak sedikit yang merayakan luapan kebahagiaan dengan keluarga. Meski tak sedikit pula yang kembali menggunjingkannya dengan yang lain, kenapa hanya segini, kenapa cuma segitu, kenapa punyaku cuma kerupuk doang, kok nggonmu pete'ne sewidak unting? kenapa dia dapet handuk plus sabun satu toples. Yach menuruti permintaan per gelintir manusia bumi republikan ini memang susah.

Sementara itu di lain tempat, ada pula yang harus menepis harapan untuk bersua berkumpul bersama keluarga dan handai taulan. Berbagai alasan yang mewarnainya tentu saja. Alasan ekonomi menjadi trending topik yang membalut. Namun ada juga karena hilangnya satu susunan rantai keluarga. Lalu dilanjutkan dengan mengunjungi sanak kerabat yang dituakan kemudian, jika masih dalam satu wilayah satu garis pemerintahan. Tapi jika rantai keluarga di untaian bawahnya menyebar hingga ujung pulau bahkan, maka untaian doa dan munajat kebahagiaan menjadi wakil dari sebuah kehadiran.

Ramadhan adalah tetap sebuah Ramadhan. Euforia tidaknya bulan itu adalah kembali bagaimana kita menjalani dan menyikapi. Tapi yang terpenting dari semuanya adalah Ramadhan merupakan waktu tepat untuk kita merenung dan berdoa, sudahkah kita berlaku baik dengan adil kepada sesama manusia, tanpa harus memandang perbedaan yang mewarnainya? Sudahkah kita bercermin atas kesalahan yang pernah kita perbuat tanpa memandang dahulu kesalahan dari orang lain kepada kita? Dan yang utama, sudah dan sudi-kah kita meminta maaf kepada Tuhan (apapun bentuk visualisasi manusia dalam pemaknaan Tuhan masing-masing)?

Minal Aidin Wal Faidzin... Mohon Maaf Lahir dan Batin... Selamat merayakan lebaran bagi yang merayakannya serta bagi yang menghormati perayaan itu sendiri... Merdeka!

1 komentar:

suryaden ngomeng

MErdekaaa... kosong-kosong

Post a Comment

Bahwa kebebasan berbicara dan berkomen adalah hak setiap warga negara (yang diharapkan kewarasannya), maka diperbolehkan untuk membebaskan segala penulisan aksara dalam wujudan kritik, saran, opini dan segala umak umik yang merupakan ekspresi fakta. Silakan umak umik bebas!

Flag Translating

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Mereka adalah Sahabat