“Pim…Pim…!!”
Dengus liar klakson itu terasa mengganggu. Bukan apa-apa, di perempatan ini, lampu lalu lintas baru saja menyala hijau. Antrian kendaraan masih panjang. Dan seharusnya bisa dimaklumi jika penantian atas giliran perjalanan itu harus diterima dengan apa adanya dan otak yang waras. Jika kemudian segelumit alasan meluncur deras dari mulut sebagai sebuah bentuk legalisasi ide, sikap dan otak atas deru klakson yang sedikit nyak-nyakan, atas dasar apapun tidak bisa dijadikan sebuah pembenaran, karena semua pemakai jalan mempunyai kepentingan yang sama meski berbeda kadar dan bentuknya. Lebih ngelus dada (mohon dada Anda sendiri dan jangan dada orang lain), karena hal seperti itu justru sekarang sering dijumpai di ruas-ruas jejalanan Jogja.
Sepeda motor yang diraungkan sesorai mungkin, knalpot diblombong, seolah menjadi hal yang pantas dibanggakan. Lajur searah yang dipaksa didua-arahkan, jarak ruas yang sempit serta di pemukiman padat, menderu dengan raungan sepeda motor serigala jalanan, tanpa memperdulikan simbah-simbah yang menyeberang atau pak tua bakul angkringan, adalah sebuah hal yang pantas disandang sebagai “jagoan”? Sangar. Gali. Preman. Dan masih banyak lagi. Njuk ngopo?! Embuh! Mbrebeki suw! Dan lucu aja, Jogja Brebeg itu pakenya gitar, bass ama drum, bukan pake knalpot. Eh kuwi pentas musik underground ding…hahaha… Sorry pren, kita kan bro… :P
Ngebut mungkin bukan sebuah hal yang baru. Tapi tetap saja yang namanya ngebut dengan seenak udel dan tanpa nggubris kiri kanan, adalah bentuk sebuah kearoganan jalan raya. Manusia-manusia kekurangan kepedean diri sehingga bahkan harus menunjukkan keeksisan diri mereka di bumi dengan melakukan sebuah aksi kebut di jalan raya, untuk mendapat perhatian dari pemakai jalan lain yang sekiranya memang lebih waras. Tanpa kepedulian babar blas mereka berusaha menjangkau daya perhatian kita. Bahwa mereka keren. Bahwa mereka hebat. Bagi saya hanyalah sebatas nyebahi silit babi. Menurut saya, sebuah kearoganan kebat-kebut ini terdiri atas 2 hal: pengebut dan yang dikebut. Tidak ada yang dinamakan pengebut hebat jalanan, karena mereka bisa lancar dalam meliak-liukkan sepeda motor / mobil di jalanan adalah karena ada pengendara lain yang mengalah. Egois untuk lebih diperhatikan, tanpa pernah mau mengambil secuil kepedulian atas pemakai jalanan lain.
Bukan gimana-gimana sih, cuman ehm gini aja, “Kalo sampeyan ngebut biyayakan trus sepeda motor sampeyan kecipok sepeda motor saya, trus sampeyan nyekakar moncrot-moncrot kecap’e, sampeyan harus bisa bertanggungjawab sendiri lho yaa?”
(Penulis bersumpah bahwa dia benar-benar sedang mengalami keautisan pada para pemakai jalan yang nyebahi silit babi!)
3 komentar:
hajar
dipaculi wae dalane mas..wkwkwk..podho, aku yo sok mangkel nek pas nang bangjo do than thin than thin sak karepe dewe..
preman kampung tukang ngebut,,,nang kampung wani ngebut,,,nang ndalan gede malah benjut...
hahahahaa....
Post a Comment
Bahwa kebebasan berbicara dan berkomen adalah hak setiap warga negara (yang diharapkan kewarasannya), maka diperbolehkan untuk membebaskan segala penulisan aksara dalam wujudan kritik, saran, opini dan segala umak umik yang merupakan ekspresi fakta. Silakan umak umik bebas!