Thursday, December 12, 2013

Selamat Jalan Bapak


Begitulah, seminggu usai kepulangan Bapak untuk selama-lamanya ke sisi Allah SWT, masih tersisa sesengguk ingatan serta kenangan bersama Bapak. Sesengguk yang terkadang hadir bersama linangan air mata. Bukan persoalan sebuah rasa kehilangan saja, tapi lebih dari itu. Sekilas rasa bersalah karena tidak bisa selalu ada manakala Bapak terbaring sakit. Rasa bersalah karena terkadang meremehkan keluhan Bapak.

Masih lekat dalam ingatan, saat pertama kali Bapak mengutarakan rasa sakitnya. Bapak merasakan nyeri di dada sebelah kiri atas, berbarengan dengan keluhan Bapak di prostat beliau. Maka di pagi yang bersamaan dengan siswa SD berangkat sekolah, aku mengantar Bapak untuk mengecekkan darah ke sebuah laboratorium yang biasa dipilih warga masyarakat kampungku untuk memeriksakan darah mereka. Berboncengan dengan memakai sepeda motor Astrea Primaku, kami berangkat menuju ke laboratorium. Sesampai disana, Bapak pun mengutarakan apa yang menjadi keluhan beliau ke dokter jaga. Lalu usai pengecekan darah berikut rontgen dada, dokter menyimpulkan bahwa kemungkinan prostat Bapak mengalami pembengkakan. Adapun visualisasi rontgen dada justru yang membuatku kaget. Dokter mengatakan bahwa terlihat gumpalan massa pekat di area dada/paru-paru kiri sebelah atas. Dokter laboratorium tidak berani menyimpulkan identifikasi gumpalan massa tersebut, hanya saja dia menyarankan untuk dilakukan CT Scan di rumah sakit yang menyediakan alatnya. Aku kemudian mengantar Bapak pulang ke rumah. Sesampai di rumah, aku ceritakan semuanya ke ibu dan istriku. Sampai disini tidak ada permasalahan berarti, selain mencoba mencari obat untuk prostat yang membengkak. Aku lalu berpamitan untuk berangkat ke kantor.


Pagi pun telah beranjak siang, ketika kuterima telepon dari istriku yang mengabarkan bahwa kondisi Bapak semakin melemah. Sedikit cemas dan panik aku menyarankan Bapak untuk diantarkan seorang teman ke sebuah rumah sakit swasta di tengah kota Yogyakarta. Aku sudah sampai disana manakala mobil teman yang mengantar Bapak memasuki pelataran parkiran rumah sakit. Usai diperiksa di UGD, dokter jaga disana menyarankan Bapak untuk dilakukan rawat inap. Ibu setuju. Aku mengiyakan. Jadilah Bapak rawat inap di rumah sakit swasta tersebut. Jujur aku akui jika selama Bapak dirawat disana, nyaman tidaknya pelayanan rumah sakit sangat tergantung pada individu-individu perawatnya. Ada yang ramah, dan ada yang menjengkelkan. Mengenai hal ini, memang kemaklumanku pada jasa pelayanan yang seperti itu haruslah aku kesampingkan karena ini mengingat nyawa seseorang.

Aku rasa mungkin sudah banyak yang tahu mengenai mutu pelayanan rumah sakit di Indonesia. Dan kembali harus aku tegaskan, seringan-ringannya sakit seseorang dan semurah-murahnya biaya sebuah rumah sakit, aku akan lebih memilih untuk tidak sakit. Dan memang harus aku akui pelayanan rumah sakit untuk Bapak memang boleh dikatakan lambat. Pada awalnya dokter mendiagnosa kalo Bapak mengalami abses/wudun/bisul yang bersarang di paru-paru sebelah kiri atas, usai melakukan 3 kali tes (CT Scan, respirasi dan biopsi). Tapi alangkah kagetnya aku dan ibuku manakala operasi prostat Bapak telah berhasil dilakukan, dokter yang menangani paru-paru Bapak mengatakan bahwa sakit yang Bapak alami di paru-paru tersebut bukanlah abses akan tetapi kanker paru-paru. Deg rasanya. Terlebih ibu yang selama ini selalu ada di samping Bapak. Diagnosa terakhir dokter tersebut seperti tamparan keras. Sekeras mungkin aku berusaha untuk kemudian tidak mengkambinghitamkan Allah SWT yang telah “menganugerahi” Bapak sakit yang demikian. Terlebih ketika dokter mengatakan bahwa tidak ada yang bisa dilakukan, mengingat usia dan kondisi fisik Bapak. Ah rasanya dunia ini runtuh seketika. Kenapa? Hanya itu satu pertanyaan yang muncul di kepalaku.

Bapak dirawat di rumah saja, kata ibu kemudian. Sebuah keputusan yang tentu saja telah dipikir dan direnungkan sekian lama. Dilema bagi kami. Tidak ada yang bisa dilakukan. Kalimat itu terus saja terngiang di kepalaku. Aku masih merasa ini hanya mimpi. Bapak dianugerahi sakit yang tidak bisa dilakukan cara apapun untuk menyembuhkannya. Kami harus ikhlas. Iya barang tentu. Tapi aku tidak akan diam. Berbagai pengobatan herbal untuk penyembuhan kanker terus aku cari dan usahakan. Dari jamu hingga obat generik. Tapi semua sepertinya percuma saja. Kanker itu memang ganas. Lambat laun, fisik Bapak semakin menurun. Tubuh Bapak semakin kurus. Setiap hari entah berapa derai air mata yang terlinang dari mataku dan ibu, juga istriku. Sedih. Pedih. Melihat Bapak yang kian lama semakin tergerus oleh penyakit jahat itu, dan hanya bisa berbaring di tempat tidur. Terlebih ketika kanker telah menyerang syaraf dan otak Bapak. Pedih seperti apa yang bisa dirasakan ketika ayahmu tak lagi mengenalimu. Tak lagi mengenali istrinya, menantu dan cucunya. Bahkan tak lagi mengenali tempatnya berbaring.

2 bulan sudah Bapak hanya bisa terbaring lemah di kasur.Derai-derai air mata ini semakin deras saja mengalir. Duh Ya Allah, Bapak, ngopo kok nganti dadi koyo ngene iki? Kadang aku masih berharap ini hanya mimpi sesaat saja, dan manakala mataku terbangun aku mendapati Bapak yang ceria, Bapak yang aktif ke masjid, Bapak yang selalu bisa membuat cucunya tertawa. Aku tak sanggup mengingatnya. Pedih. Lalu suatu hari saudara-saudara kami yang di Jogja menyarankan agar Bapak dirujuk kembali ke rumah sakit swasta lain yang masih berada di wilayah Yogyakarta untuk dilakukan perawatan intensif ulang. Meski hal ini menjadikan kembali dilema untuk ibu. Melihat kondisi Bapak yang semakin melemah, harus digotong dengan ambulan. Kembali linang airmata membasahi pipi ibu. Dan memang setelah 2 hari di rumah sakit, dokter pun menyimpulkan bahwa memang tidak ada lagi yang bisa dilakukan untuk Bapak. Kami pasrah, diantara rasa lemas yang merengkuh kami. Bapak diantar pulang ke rumah.

Sehari setelahnya, kami mengadakan pengajian Yassinan untuk Bapak. Aku, ibu dan istriku kali ini berharap agar Allah SWT memberikan yang terbaik untuk Bapak, apapun itu. Yang terbaik saja. Pengajian Yassin dihadiri oleh beberapa bapak-bapak yang memang sudah menjadi jamaah tetap masjid kampung kami. Lalu, diantara lantunan Yassin tersebut itulah, Bapak berpulang ke rahmatuLLah. Bapak telah dipanggil oleh Sang Khalik, pencipta alam raya ini, kembali ke sisiNya. Diiringi tangis kami. Tangis yang tidak akan pernah mengembalikan Bapak ke sisi kami. Selamat jalan Bapak. Sugeng kondur. Semoga Bapak kali ini bisa menemukan damai yang hakiki dari Gusti Allah SWT. Semoga kami yang masih disini diberikan kekuatan untuk melanjutkan tugas Bapak di bumi Allah SWT ini.

Innalillahi wa innailaihi roji’un...

Yach semoga aku kuat menghadapi terjangan hidup ini Pak. Aku harus kuat. Merasakan hari-hari yang berlalu tanpa kehadiran Bapak ini sungguh beda. Membiasakannya itu sungguh berat. Sepi. Aku harap Bapak sudah bahagia di surga Allah SWT. Tak lagi merasakan sakit yang selama ini menderamu Pak. Kami menyayangimu Pak. Kami mencintaimu selalu di dunia dan akhirat.

Al Fatihah...

0 komentar:

Post a Comment

Bahwa kebebasan berbicara dan berkomen adalah hak setiap warga negara (yang diharapkan kewarasannya), maka diperbolehkan untuk membebaskan segala penulisan aksara dalam wujudan kritik, saran, opini dan segala umak umik yang merupakan ekspresi fakta. Silakan umak umik bebas!

Flag Translating

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Mereka adalah Sahabat