Sudah lebih dari 100 tabung elpiji, yang telah menjadi program konversi pemerintah, meledak di tengah masyarakat. Korban meninggal dan luka-luka serta banyaknya rumah dan bangunan yang hancur di daerah-daerah program konversi tabung gas pun sudah ratusan. Sesungguhnya ini merupakan bencana sekaligus dampak yang boleh (dan harus) dinilai negative, baik bagi pemerintah sendiri bahkan oleh masyarakat. Penanganan tabung gas elpiji (baik yang 3kg maupun yang 12kg) banyak mengalami ekses yang ternyata ditangani oleh pihak di pemerintah.
Agar tidak terjadi lagi dampak yang lebih serius seharusnya pemerintah segera memberikan respons pada upaya penanggulangan untuk menghindari korban lebih jauh lagi, mengingat bahwa pemerintah merupakan pemegang kebijakan dan regulator, sedangkan Pertamina sebagai pelaksana kebijakannya. Adanya ketergantungan pada energi (dalam hal ini minyak) merupakan hal yang kurang baik, dan dengan adanya kebijakan konversi dari minyak menuju ke penggunaan tabung gas elpiji, yang mana dalam segi apapun lebih efisien dan tersedia lebih banyak dari minyak, sesungguhnya merupakan bentuk kebijakan yang tepat. Namun seiring makin banyaknya tabung gas yang meledak di tengah masyarakat, memberikan sebuah indikasi bahwasanya terdapat alur yang meleset dalam pelaksanaannya.
Munculnya kritik dan saran dari berbagai pihak di lapisan masyarakat seharusnya menjadi modal awal pemerintah dan Pertamina untuk melakukan pemeriksaan dan pengecekan pada tabung-tabung gas yang akan diedarkan ke masyarakat. Namun sepertinya pihak pengecek, dalam hal ini adalah Lembaga Sertifikasi Produk (LSPRO), hanya melakukan proses pengecekan di pabrik. Kementerian Perindustrian bahkan tidak bertanggungjawab pada tabung-tabung gas yang beredar di masyarakat.
Lalu ketika berbagai kasus ledakan tabung gas muncul, mereka saling berdebat dan melemparkan tanggungjawab satu sama lain. Pemerintah sebagai pemegang kebijakan dan regulator juga tidak bisa ”lepas tangan” begitu saja. Terlebih masyarakat tidak melihat adanya respons serius dan memadai, baik dari Pertamina maupun pemerintah meskipun ledakan-ledakan sudah mulai terjadi sejak diluncurkannya program konversi tahun 2007. Apapun yang terjadi di masyarakat, baik itu “kelalaian” atau apapun, mungkin akan lebih terjaga apabila sosialisasinya lebih efektif.
Pemerintah dan Pertamina harus segera mengevaluasi total program konversi minyak tanah ke gas, mulai dari level kebijakan (termasuk kebijakan yang menerapkan dua macam harga) dan pengadaan paket perdana yang terkesan ”asal jalan” karena dipicu target yang besar dalam waktu relatif singkat. Juga perlu dievaluasi tata niaga atau rantai distribusi, mutu, dan mekanisme kontrol terhadap tabung berikut peralatan-peralatan yang lain.
Apapun itu, yang jelas efek negatif yang ditimbulkan memang benar-benar merugikan masyarakat khususnya masyarakat dari lapisan bawah. Lalu kalu sudah demikian siapa yang patut disalahkan? Atau lebih gampangnya siapa yang seharusnya lebih bertanggungjawab pada dampak-dampak yang dihasilkan?
Agar tidak terjadi lagi dampak yang lebih serius seharusnya pemerintah segera memberikan respons pada upaya penanggulangan untuk menghindari korban lebih jauh lagi, mengingat bahwa pemerintah merupakan pemegang kebijakan dan regulator, sedangkan Pertamina sebagai pelaksana kebijakannya. Adanya ketergantungan pada energi (dalam hal ini minyak) merupakan hal yang kurang baik, dan dengan adanya kebijakan konversi dari minyak menuju ke penggunaan tabung gas elpiji, yang mana dalam segi apapun lebih efisien dan tersedia lebih banyak dari minyak, sesungguhnya merupakan bentuk kebijakan yang tepat. Namun seiring makin banyaknya tabung gas yang meledak di tengah masyarakat, memberikan sebuah indikasi bahwasanya terdapat alur yang meleset dalam pelaksanaannya.
Munculnya kritik dan saran dari berbagai pihak di lapisan masyarakat seharusnya menjadi modal awal pemerintah dan Pertamina untuk melakukan pemeriksaan dan pengecekan pada tabung-tabung gas yang akan diedarkan ke masyarakat. Namun sepertinya pihak pengecek, dalam hal ini adalah Lembaga Sertifikasi Produk (LSPRO), hanya melakukan proses pengecekan di pabrik. Kementerian Perindustrian bahkan tidak bertanggungjawab pada tabung-tabung gas yang beredar di masyarakat.
Lalu ketika berbagai kasus ledakan tabung gas muncul, mereka saling berdebat dan melemparkan tanggungjawab satu sama lain. Pemerintah sebagai pemegang kebijakan dan regulator juga tidak bisa ”lepas tangan” begitu saja. Terlebih masyarakat tidak melihat adanya respons serius dan memadai, baik dari Pertamina maupun pemerintah meskipun ledakan-ledakan sudah mulai terjadi sejak diluncurkannya program konversi tahun 2007. Apapun yang terjadi di masyarakat, baik itu “kelalaian” atau apapun, mungkin akan lebih terjaga apabila sosialisasinya lebih efektif.
Pemerintah dan Pertamina harus segera mengevaluasi total program konversi minyak tanah ke gas, mulai dari level kebijakan (termasuk kebijakan yang menerapkan dua macam harga) dan pengadaan paket perdana yang terkesan ”asal jalan” karena dipicu target yang besar dalam waktu relatif singkat. Juga perlu dievaluasi tata niaga atau rantai distribusi, mutu, dan mekanisme kontrol terhadap tabung berikut peralatan-peralatan yang lain.
Apapun itu, yang jelas efek negatif yang ditimbulkan memang benar-benar merugikan masyarakat khususnya masyarakat dari lapisan bawah. Lalu kalu sudah demikian siapa yang patut disalahkan? Atau lebih gampangnya siapa yang seharusnya lebih bertanggungjawab pada dampak-dampak yang dihasilkan?
0 komentar:
Post a Comment
Bahwa kebebasan berbicara dan berkomen adalah hak setiap warga negara (yang diharapkan kewarasannya), maka diperbolehkan untuk membebaskan segala penulisan aksara dalam wujudan kritik, saran, opini dan segala umak umik yang merupakan ekspresi fakta. Silakan umak umik bebas!